Selasa, 16 Juni 2015

MANAJEMEN STRATEGIK MUTU PENDIDIKAN KURIKULUM DAN SISTEM PEMBELAJARAN DI PESANTREN



MANAJEMEN STRATEGIK MUTU PENDIDIKAN
KURIKULUM DAN SISTEM PEMBELAJARAN DI PESANTREN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Pesantren dan Diniyah
Dosen Pengampu : Dr. H. Fatah Syukur, NC. M. Ag

Disusun Oleh :
Nur Khasanah                         113311018

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



I.                   PENDAHULUAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia setelah pendidikan rumah tangga yang masih eksis hingga kini. Pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius. Peran pesantren di masa lalu kelihatan paling menonjol dalam hal menggerakkan, memimpin dan melakukan perjuangan dalam rangka membebaskan negeri ini dari penindasan para penjajah.
Pesantren di Indonesia merupakan salah satu wujud pranata pendidikan tradisional yang hingga kini masih relevan dan tetap eksis. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya telah lenyap tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan sekuler atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum yang sekule
Di tengah-tengah kehidupan modern, di mana kemerosotan akhlak telah merambah semua kalangan sebagai efek samping yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, pendidikan pesantren dapat tampil memainkan perannya sebagai pengawal moral bangsa. Terlepas dari segala kelemahan dan kekurangannya, pesantren memiliki keunggulan tersendiri dan masih dianggap sebagai tempat yang paling efektif untuk memperkenalkan ajaran Islam, pembinaan moral serta akhlak yang mulia. Kemunculan pesantren di perkotaan juga merupakan indikator penting bahwa lembaga pendidikan model pesantren semakin dibutuhkan dan diminati.
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, pendidikan pesantren telah jauh mangalami perubahan dan perkembangan terutama pada sistem pembelajarannya.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Kurikulum dan Sistem Pembelajaran di Pesantren
B.     Seperti Apa Kurikulum di Pesantren?
C.     Seperti Apa Sistem Pembelajaran d Pondok Pesantren Berhubungan dengan Kurikulum?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kurikulum di Pesantren
Kurikulum dapat diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan.
Pengertian kurikulum menurut UU SISDIKNAS BAB I Th. 2003 Pasal 1 (19) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Istilah kurikulum dalam pendidikan pesantren dapat mengalami perluasan atau pengembangan makna, sejalan dengan dinamika pesantren di tengah-tengah proses transformasi masyarakat yang bergerak dari pola kehidupan tradisional menuju masyarakat modern. Proses perkembangan ini telah membawa corak pendidikan pesantren yang semakin beragam dewasa ini. Dari sudut ini pemaknaan terhadap arti dan fungsi kurikulumnya menjadi turut beragam pula. Untuk lembaga-lembaga pendidikan semacam pesantren tradisional, pola transmisi terlihat dominan berpengaruh di dalam aktivitas pendidikannya. Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dan cita-cita yang  ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut disampaikan secara tertulis atau tidak tertulis (lisan). Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren dalam merumuskan tujuan atau cita-citanya selalu merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah, baik itu rumusan dalam bentuknya yang tertulis maupun yang disampaikan secara lisan oleh kyainya. Pesantren juga memperhatikan aspirasi masyarakat sekitarnya, karena itu pesan-pesan masyarakat juga diakomodasi dalam wujud kurikulum pesantren.[1]
Sedangkan sistem dapat di artikan suatu perangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian dimana satu sama lain saling berhubungan dan saling memperkuat, untuk mencapai tujuan.  Secara umum sistem dapat berarti suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu yang dalam penggunaannya tergantung kepada berbagai faktor yang erat hubungannya dengan pencapaian tujuan tersebut.
Sistem Pendidikan di Pesantren artinya sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan di pondok pesantren. Karena pesantren merupakan subsistem pendidikan yang ada di Indonesia maka tujuan pendidikan di pesantren secara umum juga mengacu pada tujuan pendidikan nasional.[2]
B.     Kurikulum di Pesantren
Pendidikan pondok pesantren tidak bisa disamakan dengan lembaga pendidikan formal seperti sekolah pada umumnya. Kurikulum pondok pesantren lebih banyak ditentukan oleh otoritas seorang Kiai yang memangkunya, sehingga sering ditemukan kesamaan kurikulum atau kitab-kitab yang dijadikan standar dalam pengajarannya, bahkan disebagian pondok pesantren ada yang tidak ditemukan kurikulumnya, walaupun praktek pengajarannya, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari merupakan kesatuan dalam proses pendidikannya. Adanya perbedaan kurikulum dikalangan pondok pesantren menunjukkan bahwa perhatian kalangan pondok pesantren terhadap kurikulum masih kurang.
Kurikulum pondok pesantren, tidak seperti yang difahami dalam kurikulum pada lembaga pendidikan formal, yang mencakup seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan. Tetapi kurikulum pondok pesantren merupakan urutan kitab yang dipelajari oleh santri, dimana kurikulum pesantren tidak distandarisasi secara kolektif. Terkadang suatu kitab yang diajarkan untuk tingkat ibtidaiyh (dasar) di suatu pesantren, sedangkan pesantren lain mengajarkannya di tingkat thanawiyah (menengah). Namun demikian diantara pesantren mempunyai banyak kesamaan, antara lain dalam hal pengajaran ilmu-ilmu tertentu, seperti bidang akidah, fiqh, usul al-fiqih, tafsir/ ilmu al-tasir, hadith/ilmu al-Hadith, akhlaq, tasawwuf, tajwid, mantiq, nahwu, sharf dan balaghah. Kepada santri pemula, biasanya diajarkan pesantren mengenalkan pelajaran aqidah dan fiqih yang paling sederhana, seperti rukun iman, rukun Islam dan cara bersuci. Untuk menentukan urutan kitab yang pengajarannya didahulukan, pesantren mendasarkan pada kitab yang pembahasannya sederhana, seperti Safinah al-Najah dan Sullam al-Taufiq bagi santri pemula. Setelah itu baru dilanjutkan pada kitab yang pembahasannya lebih luas dan terurai.
Depag RI, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam, berupaya untuk menyusun standarisasi kurikulum pendidikan pesantren yang dikembangkan menjadi lima jenjang pendidikan. Secara global kitab-kitab yang ditentukan hampir sama dengan kitab-kitab yang beredar di pondok pesantren. Namun sebagai lembaga pendidikan yang independen, pondok pesantren tetap memakai kurikulum sesuai dengan keinginan Kiai pengasuhnya.
C.     Sistem Pembelajaran di Pesantren berhubungan dengan Kurikulum
Sistem pendidikan pesantren mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola dan katregorisasi pesantren. Seperti yang sudah dibahas sebelunya, kategori-kategori pesantren salah satunya ditentukan dengan sistem pendidikan yang dijalankan.
Secara umum, dalam memberlakukan sistem pendidikan, pesantren terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Pesantren dengan sistem pendidikan independen, pesantren seperti ini adalah pesantren yang tetap memegang teguh sistem pendidikan yang mereka anut tanpa dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang terjadi di dunia pendidikan.
2.      Pesantren dengan sistem pendidikan yang adaptif, pesantren seperti ini adalah pesantren yang mengakomodasi berbagai perubahan berbagai perubahan dalam dunia pendidikan dan diasimilasikan serta di sinergikan dengan sistem pendidikan yang dianut pesantren.
Secara sederhana, kategori pesantren dibedakan menjadi pesantren tradisional dan pesantren moderen. Berikut ini perbedaan berbagai komponennya termasuk sistem pendidikannnya menurut, yaitu:[3]
Komponen
Pesantren Moderen
Pesantren Tradisional
Karakteristik dasar
Terbuka terhadap perubahan dunia, menerima inovasi dan mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi
Tertutup terhadap perubahan, cenderung mencurigai inovasi sebagai suati yang mengancam
Peran kyai/ustad
Dominan proporsional
Dominan mutlak
Kurikulum
Mempunyai kurikulum standar pesantren, mengadopsi kurikulum pemerintah (depag/dinas)
Hanya kurikulum standar pesantren
Sarana dan prasarana
Tersedia ruang pengajaran sistem kelas, biasanya didukung tersedianya sarana dan prasarana lain seperti koperasi, sarana kesehatan, perpustakaan, sarana olah raga, dll.
Sistem pengajaran masih bersifat tradisional/tidak terbagi dalam ruangan kelas. Sarana dan prasarana lain yang menunjang sangat minim, beberapa pesantren tidak mempunyainya
Sumber keuangan
Iuran/bantuan pemerintah / donatur
Iuaran/bantuan pemerintan
Orientasi
Adaptif
Kurang adaptif.

Komponen yang paling penting dalam sistem pendidikan adalah kurikulum. Pada sebuah lembaga pendidikan, kurikulum merupakan salah satu  komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Kurikulum merupakan program pendidikan sekolah yang disediakan untuk siswa.
Kurikulum pesantren dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar.
Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing, sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi dari madrasah dan sekolah umum.
Sedangkan kurikulum untuk pesantren khalaf, atau pesantren yang mengadopsi jenis madrasah dan sekolah umum bersifat formal, maka, kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah, yaittu madrasah mengikuti ketentuan dari Departemen Agama, dengan menggunakan perbandingan 30% berisi mata pelajaran agama, dan 70% berisi mata pelajaran umum. Namun, bagi pesantren, pembobotan tersebut berubah menjadi 20% berisi mata pelajaran umum, dan 80% berisi mata pelajaran agama.
Tetapi, pada umumnya masing-masing pesantren menyesuaikan kurikulum-kurikulum yang datang dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional tersebut menurut kepentingan dan keyakinan masing-masing. Karakteristik kurikulum dalam pesantren yang terfokus pada ilmu agama seperti di atas, tidak lepas dari tujuan pondok pesantren itu sendiri. [4]
Dewasa ini, kalangan pesantren (termasuk pesantren salaf) mulai menerapkan sistem madrasati. Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap memakai kurikulum dan materi pelajaran dari kitab-kitab kuning, dilengkapi pelatihan ketrampilan seperti menjahit, mengetik, dan bertukang. Sistem ini kurikulumnya masih sangat umum tidak secara jelas dan terperinci. Tetapi, yang jelas semua pelajaran tersebut telah mencakup segala aspek kebutuhan santri dalam sehari semalam. Kurikulum yang berkaitan dengan materi pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama dengan segala bidangnya seperti disebut sebelumnya. Kendati demikian, tidak berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di pesantren-pesantren sama dan seragam. Pada umumnya, setiap pesantren mempunyai penekanan atau ciri tersendiri dalam hal-hal ilmu yang diberikan. Oleh karena itu, sulit bahkan mustahil menyamaratakan sistem dan kurikulum pesantren seperti yang pernah diusulkan.
Dalam sistem pendidikan pesantren, Salah satu ciri tradisi pesantren yang masih kuat dipertahankan di sebagian besar pesantren adalah pengajian kitab salaf. Kitab salaf yang lebih dikenal di kalangan luar pesantren dengan sebutan kitab kuning, merupakan kitab-kitab yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan. Kitab-kitab tersebut dalam konteks penyusunan dan awal penyebarluasannya merupakan karya intelektual yang tidak ternilai harganya, dan hanya mungkin disusun oleh ulama jenius dalam tradisi keilmuan dan kebudayaan yang tinggi pada jamannya.
Isi yang disajikan kitab kuning hampir selalu terdiri dari dua komponen, yaitu:
1.      Matan
2.      Syarah
Matan adalah isi inti yang akan dikupas oleh syarah. Dalam lay out-nya, matan diletakkan di luar garis segi empat yang mengelilingi syarah. Ciri lain penjilidan kitab-kitab cetakan lama biasanya dengan sistem korasan (karasan), lembaran-lembarannya dapat dipisah-pisahkan sehingga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya.
Apabila kita menengok media berita surat kabar masa kini adalah menganut sistem korasan. Di kalangan masyarakat, kedudukan kitab kuning saling melengkapi dengan kedudukan Kiai. Kitab kuning merupakan kodifikasi nilai-nilai yang dianut masyarakat pesantren, sementara Kiai adalah personifikasi yang utuh dari sistem yang dianut tadi. Sistem pendidikan di pesantren pun memiliki watak mandiri, bila dilihat secara keseluruhan bermula dari pengajaran sorogan, di mana seorang Kiai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri per santri. Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam rangkaian kalimat Arab. Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang dianggap fase tersulit dari sistem keseluruhan pengajaran di pesantren karena di sana menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid itu sendiri.
Pengajian sorogan lalu diikuti pengajian weton, seorang Kiai duduk di lantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mencatat uraiannya itu. Pengajian sorogan masih diteruskan dengan memberi wewenang kepada guru-guru untuk melaksanakannya di bilik masing-masing. Demikian pula lambat laun pengajian weton diwakilkan kepada pengganti (badal) sehingga Kiai hanya memberikan pengajian weton dengan teks-teks utama.
Selain kedua metode tersebut, Mastuhu menyebut hapalan dan halaqah. Dalam perkembangannya sistem madrasah dan klasikal diterapkan untuk mempermudah proses pembelajaran sebagai pengembangan dan pembaruan pengajian model sorogan dan weton.Metode sorogan, diduga sangat kuat merupakan tradisi pesantren, mengingat sistem pengajaran di pesantren memang secara keseluruhan. Hal ini lagi-lagi menunjukkan ciri khas tradisionalnya dengan mempertahankan warisan masa lalu yang cukup jauh. Namun demikian, bukan berarti hanya metode sorogan saja yang dipergunakan di kalangan pesantren tradisional, melainkan boleh jadi dipergunakan pula metode yang lain misalnya weton atau bandongan, bahkan pengajaran klasikal (madrasi). Hanya saja, yang disebutkan terakhir tidak bisa dibayangkan pelaksanaannya seperti yang berlaku di madrasah atau sekolah umum karena cukup banyak segi-segi yang membedakannya.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya sesudah mengerjakan shalat fardlu, dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti para santri. Kemudian Kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan, sekaligus mengulas kitab-kitab salaf yang menjadi acuan. Termasuk dalam pengertian weton adalah halaqah. Sistem sorogan, para santri maju satu per satu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan guru atau Kiai.
Selain dua sistem tersebut (weton, sorogan), pesantren juga kerap menggunakan sistem musyawarah. Model ini bersifat dialogis sehingga umumnya hanya diikuti oleh santri senior.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, terdiri dari beberapa metode, yaitu:
1.      Metode sorogan
2.      Metode weton (bandongan)
3.      Metode hapalan
4.      Metode halaqoh
5.      Metode madrasati/klasikal
6.      Metode musyawarah/dialog[5]


IV.             KESIMPULAN
Sistem pendidikan pesantren di Indonesia secara umum dibedakan menjadi sistem pendidikan independen dan adaptif, sedangkan kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan sistem pendidikan yang dianut oleh poesantren tesebut. Sedangkan metode/sistem pengajaran, terdiri dari:
1.      Metode sorogan
2.      Metode weton (bandongan)
3.      Metode hapalan
4.      Metode halaqoh
5.      Metode madrasati/klasikal
6.      Metode musyawarah/dialog

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran dari para pembaca, guna perbaikan makalahh selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien



[1] Khozin,  Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, ( Malang: UMM Press,2006), hlm: 102-103
[2]Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan,( Jakarta:Bumi Aksara,  2009), hlm:245
[3] Dedeng Rosyidin, Konsep Pendidikan Formal Islam, Ikhtisar Pendidikan Formal Persis dalam Mencetak Generasi Tafaqquh Fiddin.  Bandung. Pustaka Nadwah 2009),hlm:162

[4] Nawawi,. Sejarah dan Perkembangan Pesantren, Jurnal Studi Islam dan Budaya Ibda, (P3M STAIN Purwokerto, 2006),hlm:5
[5] Qomar, Mujamil, Pesantren, dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta. Penerbit Erlangga,2001), hlm:57
                                                                                  



DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyi, Kapita Selekta Pendidikan,( Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
Khozin,  Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, ( Malang: UMM Press,2006)
Nawawi,. Sejarah dan Perkembangan Pesantren, Jurnal Studi Islam dan Budaya Ibda, (P3M STAIN Purwokerto, 2006)
Rosyidin, Dedeng, Konsep Pendidikan Formal Islam, Ikhtisar Pendidikan Formal Persis dalam Mencetak Generasi Tafaqquh Fiddin.  Bandung. Pustaka Nadwah 200)
Qomar, Mujamil, Pesantren, dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta. Penerbit Erlangga)